Sudah Sejauh Mana Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia?

Pengembangan energi terbarukan di Indonesia memang belum semaju negara-negara di Eropa. Hal tersebut tentu memacu Indonesia untuk terus mengembangkan energi terbarukan. Terlebih negara kita saat ini masih sangat tergantung pada energi fosil yang semakin menipis jumlahnya dari tahun ke tahun. Sudah tentu perlu adanya transisi yang masif dan segera dijalankan. Namun, faktanya tidak semudah itu. Meski Indonesia sendiri kaya akan sumber daya alam (SDA), nyatanya masih ada beberapa hambatan yang menghalangi pemanfaatannya sebagai sumber energi terbarukan. Salah satunya adalah masalah kebijakan. Hingga saat ini belum ada kebijakan yang dinilai benar-benar menguntungkan pengembangan energi terbarukan. Alih-alih, justru subsidi terus diberikan kepada energi fosil.

Dengan banyaknya hambatan yang harus dilewati, pengembangan energi terbarukan di Indonesia sering menjadi pertanyaan. Sebenarnya, sudah sejauh manakah pengembangan energi terbarukan di Indonesia? Adakah langkah yang benar-benar nyata dan serius untuk mengembangkan energi terbarukan di tanah air? Ulasan berikut akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

1. Belum memenuhi harapan

Jika mengikuti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) ditargetkan naik hingga 23% pada tahun 2025. Namun, sayangnya di tahun 2019 ini, dari target 23% baru tercapai 12%. Dengan kata lain, pengembangan energi terbarukan di Indonesia baru menghasilkan listrik sebesar 9,12 GigaWatt. Rinciannya adalah 1,8 GW untuk panas bumi, 5,1 GW tenaga air, 0,326 GW mini hidro dan mikrohidro, bioenergi 1,84 GW, tenaga surya 12,015 MW, dan tenaga angin 1,12 MW.

Ada banyak hambatan yang menyebabkan kontribusi EBT dalam bauran energi masih jauh dari target meski tenggat waktu semakin menipis. Hambatan utamanya masih berkisar pada perizinan. Selain itu, harga beli listrik pembangkit EBT masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan listrik dari pembangkit jenis lain seperti minyak bumi atau batu bara. Kondisi diperparah saat Peraturan Menteri ESDM No. 12 diubah menjadi Peraturan Menteri No. 50 tahun 2017. Dalam peraturan ini, biaya pokok penyediaan (BPP) EBT dipatok hingga 85% dari bahan bakar fosil. Akibatnya, investor EBT kesulitan untuk mendapatkan keuntungan dan kemungkinan balik modal pun semakin kecil.

2. Harus menjadi prioritas

Dengan kondisi yang demikian, maka pengembangan energi terbarukan di Indonesia harus dijadikan prioritas. Target 23% harus benar-benar terwujud di tahun 2025, atau jika memungkinkan jumlahnya bisa melebihi target. Jika tidak, bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan respek dari negara-negara lain. Hal ini tentu bisa berdampak pada kondisi ekonomi negara. Untuk mewujudkan hal tersebut, butuh sebuah gebrakan nyata dalam pengembangan energi terbarukan. Mindset untuk tetap menggantungkan energi fosil sebagai pembangkit listrik utama harus segera diubah. Bagaimanapun juga, energi fosil bukanlah sebuah energi terbarukan yang jumlahnya tidak terbatas. Bahkan sekarang ini persediaan energi fosil untuk pembangkit listrik semakin menipis jumlahnya di Indonesia. Pengembangan energi terbarukan juga tidak semata-mata dilakukan karena terdesak keadaan. Ada baiknya pengembangan energi terbarukan memang benar-benar sebuah proyek jangka panjang yang berkelanjutan. Untuk itu, langkah pengembangan ini harus segera dijadikan prioritas negara.

3. Pengembangan yang menyesuaikan karakteristik Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki SDA melimpah. Ada banyak kekayaan alam di Indonesia yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Termasuk untuk energi terbarukan. Negara kita memiliki banyak potensi energi terbarukan yang belum terlalu banyak dieksplorasi. Sebut saja tenaga surya yang belum maksimal pemanfaatannya dan tenaga biomassa yang masih belum banyak dikenal. Hal ini bisa menjadi semacam acuan untuk memetakan potensi energi terbarukan di Indonesia. Misalnya tenaga angin lebih cocok dikembangkan di daerah Sulawesi Selatan, sedangkan Sumatera Selatan memiliki potensi untuk mengembangkan tenaga surya dan biomassa. Dengan begitu, pengembangan energi terbarukan bisa lebih cepat dilakukan dan merata.

4. Peran pemerintah sangat penting

Dari poin-poin sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Pada kondisi sekarang ini masih belum terlihat keberpihakan pada pengembangan. Salah satu contohnya bisa dilihat pada pemberian subsidi. Hingga saat ini Indonesia masih memberikan subsidi terhadap penggunaan energi fosil. Berdasarkan data yang dihimpun International Institute for Sustainable Development (IISD), pada rentang 2014-2016, pemerintah menghimpun sekitar Rp190 triliun pendapatan pajak dan bukan gas. Namun, jumlah yang sama juga dikeluarkan untuk subsidi energi fosil. Sebagai contoh, pada tahun 2015 subsidi bahan bakar minyak (BBM) dapat mencapai Rp211 triliun.

Jumlah tersebut dinilai terlalu “berlebihan”, terutama jika mengingat bahwa Indonesia masih punya banyak hal lain untuk diprioritaskan, seperti pengentasan kemiskinan dan tentu saja pengembangan energi terbarukan. Perlu ada komitmen yang serius untuk segera menghentikan rantai subsidi fosil ini. Terlebih jika mengingat posisi Indonesia sebagai anggota G20 dan turut berpartisipasi dalam Kesepakatan Paris. Dalam kesepakatan tersebut, negara-negara yang berpartisipasi harus mengurangi emisi hingga 29%. Namun, dengan adanya subsidi fosil, hal tersebut akan sulit dicapai karena tingkat emisi bisa meningkat.

5. Dampak positif energi terbarukan untuk Indonesia

Padahal jika Indonesia bersungguh-sungguh dalam pengembangan energi terbarukan, akan sangat banyak manfaat yang dapat dirasakan, baik itu bagi lingkungan alam maupun lingkungan sosial masyarakat Indonesia. Salah satu contoh manfaat yang bisa langsung dirasakan adalah kelestarian lingkungan. Bahan bakar minyak dan listrik yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia berasal dari energi fosil. Energi ini tidak dapat diperbarui dan pemanfaatannya sangat berisiko terhadap lingkungan. Sumber energi fosil berada di jauh di dalam tanah (atau laut) sehingga untuk mendapatkannya harus merusak kontur tanah yang ada. Setelah energi fosil didapat, tentu akan sulit mengembalikan kondisi tanah menjadi seperti semula. Hal ini tentu berdampak pada lingkungan alam dan sosial di sekitar lokasi penggalian.

Di samping itu, saat energi fosil digunakan juga bisa menghasilkan gas buang yang membahayakan. Kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak akan menghasilkan emisi yang meningkatkan polusi udara. Padahal Indonesia telah setuju untuk menurunkan emisi hingga 29% dalam Kesepakatan Paris bersama negara-negara yang tergabung di G20. Namun, hal semacam ini tidak akan terjadi jika kita mulai beralih pada energi terbarukan. Energi terbarukan cenderung minim resiko karena untuk memanfaatkannya tidak memerlukan tindakan yang merusak lingkungan alam (seperti pengeboran atau penggalian). Untuk memanfaatkan tenaga surya, misalnya, cukup menggunakan sel fotovoltaik yang sama sekali tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan alam.   

Hingga saat ini pengembangan energi terbarukan di Indonesia memang masih jauh dari kata memuaskan. Namun, mulai banyak kesadaran dari masyarakat untuk beralih pada energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Langkah ini akan semakin baik lagi kedepannya jika pemerintah Indonesia ikut andil. Salah satu gerakan kecil yang dapat dilakukan pemerintah adalah mendukung penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap untuk skala perumahan dan komersil.

Pemerintah bisa memberikan insentif khusus yang akan mendorong masyarakat agar lebih berminat menggunakan energi surya untuk kebutuhan sehari-hari. Insentif bisa berupa program cicilan dengan bunga rendah atau pemotongan pajak. Di negara barat, langkah ini sudah terbukti mampu memacu masyarakat untuk menggunakan energi terbarukan yang akan membantu pemerintah mencapai target yang telah dicanangkan. Pembuatan kebijakan yang lebih berpihak pada energi terbarukan seharusnya mulai dilakukan untuk memutus rantai ketergantungan pada energi fosil. Semoga target pembangunan energi terbarukan tercapai di tahun 2025.

Written by Annisa Hening Noorvitasari | 01 Jul 2019