Sejauh Mana Tingkat Pencemaran Udara di Jakarta?

Ibu kota Jakarta seolah tidak pernah luput dari perhatian masyarakat dunia. Meski sukses mewujudkan proyek transportasi massal, MRT, nyatanya angka pencemaran udara di Jakarta masih sangat memprihatinkan. Bahkan berdasarkan pengamatan indeks partikulat debu melayang, setidaknya polutan sebanyak 45,3 mikrogram per meter kubik mencemari udara ibu kota. Angka tersebut berada jauh di atas ambang batas aman yang telah ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu hanya sebesar 10 mikrogram per meter kubik.

Tingginya partikel debu dan polutan di Jakarta tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak negatif untuk makhluk hidup di sekitarnya. Hal ini dikarenakan partikel debu bisa menembus permukaan kulit dan masuk ke aliran darah manusia, juga aneka satwa yang tinggal di ibu kota. Jika tidak segera mendapat penanganan serius, pencemaran udara di Jakarta akan mengakibatkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) maupun gangguan kardiovaskular (jantung).

Berdasarkan data yang dirilis oleh WHO, tingginya polusi udara bisa mengakibatkan sembilan dari sepuluh orang mengalami gangguan pernapasan dan berakhir kematian. Bukan hal yang mengejutkan jika kemudian pencemaran udara tergolong sebagai faktor utama pemicu kematian di usia dini. Lantas, sejauh mana tingkat pencemaran udara di Jakarta? Berikut informasi selengkapnya.

1. Tingkat pencemaran udara di Jakarta memburuk

Tingkat pencemaran udara di Jakarta ternyata tidak hanya melampaui ambang batas maksimum yang telah ditetapkan oleh WHO. Berdasarkan pengakuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), konsentrasi rata-rata kualitas udara tahun 2018 di kawasan ibu kota berada di angka 34,57 mikrogram per meter kubik. Fakta tersebut jelas mengindikasikan bahwa pencemaran udara di Jakarta wajib segera ditangani, sebab di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, tertulis bahwa baku mutu partikel debu dan polutan tahunan maksimal di Indonesia hanya boleh sebesar 15 mikrogram per meter kubik. Lebih lanjut, KLKH juga mengaku bahwa sepanjang tahun 2018 kemarin, hanya ada 34 hari dalam setahun di mana kota Jakarta mendapat kualitas udara “Baik”. Sementara 122 hari lainnya tingkat pencemaran udara di Jakarta tergolong “Sedang”, dan 196 hari sisanya kualitas udara ibu kota dikategorikan “Tidak Sehat”.

2. Jakarta jadi kota berpolusi udara tertinggi di Asia Tenggara

Dilansir dari situs Greenpeace Indonesia, Jakarta bahkan menjadi kota dengan pencemaran udara paling tinggi di Asia Tenggara. Di tahun 2018 kemarin, Jakarta Selatan menjadi wilayah paling tercemar dengan polutan mencapai 42,2 mikrogram per meter kubik. Disusul oleh Jakarta Pusat yang memiliki tingkat polutan 37,5 mikrogram per meter kubik. Artinya, pencemaran udara di Jakarta empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan ambang batas aman tahunan yang telah ditetapkan oleh WHO. Tidak sendirian, Katadata juga mencatat bahwa Hanoi di utara Vietnam menduduki peringkat kedua dengan tingkat polutan sebesar 40,8 mikrogram per meter kubik. Sementara itu, di posisi ketiga ada kota Samut Sakhon, Thailand dengan polusi udara 39,8 mikrogram per meter kubik. Masih berada di Thailand, kota Tha Bo dan Saraburi juga menjadi kota dengan polusi udara tertinggi keempat dan kelima dengan indeks polutan 37,6 dan 37,2 mikrogram per meter kubik.

3. Penyebab pencemaran udara di Jakarta

Pada dasarnya, ada cukup banyak hal yang menyebabkan buruknya kualitas udara di Jakarta. Tidak terkecuali tingginya emisi gas karbon yang tersebar di seluruh wilayah ibu kota akibat penggunaan kendaraan bermotor. Di samping itu, aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam radius 100 kilometer di sekeliling Jakarta juga berkontribusi pada tingginya konsentrasi polutan. Bahkan berdasarkan riset yang dilakukan Greenpeace Indonesia, PLTU tersebut menyumbang setidaknya 33 – 38% polutan harian di Jakarta.

Perlu diketahui, bahwa sebagian besar PLTU di Indonesia melakukan aktivitas pembakaran batu bara yang merupakan bahan bakar fosil. Energi bahan bakar fosil yang tidak terbarukan tersebut akan mengeluarkan emisi gas karbon. Padahal, emisi gas karbon yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut langsung berdampak pada kualitas udara di wilayah sekitarnya. Inilah yang menyebabkan aktivitas PLTU di sekitar ibu kota memiliki andil yang besar terhadap tingginya tingkat pencemaran udara.

Di sisi lain, minimnya fasilitas pemantauan udara juga bisa mengakibatkan angka pencemaran udara di Jakarta sulit untuk dikendalikan. Berbeda dari Beijing dan Thailand, meski masih tergolong sebagai negara berpolutan tinggi, keduanya menyediakan pemantauan dan penyajian data terkait kualitas udara secara up to date kepada seluruh warganya. Oleh karena itu, ketika kualitas udara memburuk, mereka bisa bersiap dengan memakai masker pelindung agar tidak terkontaminasi dengan polutan.

4. Solusi untuk memperbaiki kualitas udara ibukota

Jumlah penggunaan kendaraan bermotor yang semakin meningkat akan memicu tingginya polusi udara. Untuk itu, pemerintah telah berupaya mengadakan sistem transportasi massal mulai dari Bus TransJakarta, KRL, MRT, serta LRT meskipun sampai saat ini belum banyak masyarakat ibu kota yang beralih dari penggunaan kendaraan pribadi menuju moda transportasi massal tersebut. Program pengendalian pencemaran udara juga perlu diselenggarakan oleh pemerintah setempat. Termasuk dalam pengurangan beban emisi dengan beralih pada penggunaan energi ramah lingkungan, seperti memanfaatkan energi matahari sebagai sumber listrik. Banyaknya gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, instansi pemerintah, serta rumah-rumah warga yang memakai listrik berbahan bakar batu bara tentu sangat berpengaruh pada tingginya pencemaran udara di Jakarta.

Tidak hanya bagi warga Jakarta, saat ini pemerintah tengah mendorong seluruh rakyat Indonesia untuk menggunakan listrik tenaga surya. Melalui pemasangan panel surya di atap-atap rumah maupun gedung, listrik yang dihasilkan jauh lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi gas karbon. Selain itu, penggunaan panel surya juga membantu menurunkan tagihan listrik bulanan yang harus dibayarkan oleh pelanggan setiap bulannya.

5. Keuntungan menggunakan panel surya di Jakarta

Sebagai salah satu negara tropis di Indonesia, energi matahari sangat melimpah termasuk di ibu kota Jakarta. Pemanfaatan panel surya sebagai penghasil listrik tenaga matahari tentu sangat menguntungkan. Selain ramah lingkungan dan bisa menghemat biaya tagihan listrik, panel surya juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan konsumsi listrik masing-masing penggunanya. Meski berbekal energi matahari, listrik yang dihasilkan oleh panel surya juga tetap bisa digunakan di malam hari maupun ketika cuaca hujan.

Dengan memahami tingkat pencemaran udara di Jakarta yang sudah semakin parah, pertolongan pertama akan perbaikan kualitas udara bisa dimulai dari diri sendiri. Cobalah untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, memperbanyak ruang terbuka hijau, hingga mengurangi pemakaian listrik yang juga berdampak pada kelestarian lingkungan hidup. Pertimbangkan pula penggunaan panel surya sebagai penghasil energi listrik tenaga matahari yang jauh lebih ramah lingkungan. Kerja sama yang baik antara pemerintah dan warga negara akan menghasilkan perubahan yang besar untuk perbaikan kualitas udara di Jakarta. Bagaimana menurut pendapat Anda?

Written by Inas Twinda Puspita | 14 May 2019