Regulasi Baru, PLN Jangan Batasi Kapasitas PLTS Atap

Semakin hari, semakin banyak masyarakat yang ingin menggabungkan energi listrik konvensional dengan energi alternatif tenaga surya. Selain diminati di skala perumahan, kedepannya PLTS atap juga diharapkan dapat berkembang secara pesat pada skala industri maupun pada skala usaha yang lebih besar. Penggunaan PLTS Atap memiliki banyak manfaat yang bisa diperoleh. Selain pemasangan yang mudah, PLTS Atap cukup dipasang dan diletakkan di atap untuk dapat menghasilkan sumber listrik untuk dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan listrik sehari-hari. Hal ini tentu dapat menghemat biaya bagi masyarakat yang membutuhkan konsumsi listrik besar.

Pemerintah melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya mineral juga telah menerbitkan aturan baru bagi pengguna untuk mendorong Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Dimana para pengguna PLTS Atap yang memanfaatkan sumber energi cahaya matahari dapat melakukan ekspor listrik PLTS Atap hingga 100 persen ke PLN. Dimana jika melihat aturan sebelumnya, para pengguna PLTS Atap hanya dapat melakukan ekspor listrik PLTS Atap sebesar 65% ke PLN.

Selain itu, terdapat 7 point aturan sebagai dukungan dari Pemerintah dalam upaya oengembangan PLTS Atap yang tercantum dalam Peraturan terbaru Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021. Selain menaikkan ketentuan ekspor Kwh Llistrik, aturan selanjutnya juga mengatur tentang akumulasi selisih tagihan yang dihilangkan dan diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam bulan. Jangka waktu permohonan PLTS atap menjadi lebih singkat dengan durasi lima hari tanpa penyesuaian perjanjian jual beli listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL.

Selain itu, Peraturan Menteri juga mengatur Mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS atap, Pembukaan peluang perdagangan karbon dari PLTS atap, Serta penyediaan Pusat Pengaduan PLTS atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS atap atau Pemegang IUPTLU. Namun, ditengah kabar baik terkait penerbitan aturan terkait PLTS Atap dari Pemerintah tersebut, muncul wacana Regulasi baru PLN sebagai penyedia kebutuhan listrik di Indonesia membatasi instalasi maksimal hanya 10-15% dari total kapasitas daya listrik yang terpasang. Hal ini juga muncul di tengah isu kenaikan tarif listrik bagi kelompok pelanggan rumah tangga mampu.

Hal ini tentu menjadi kabar yang kurang baik dimana dalam aturan baru tersebut, Aturan terkait kemudahan serta dorongan dari pemerintah melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya mineral berbenturan dengan aturan dan mek Regulasi baru PLN. Dimana terkait urusan perizinan pemasangan PLTS Atap oleh PLN juga dirasa sangat lambat. Sedangkan, jika merujuk dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2021, pengurusan perizinan hanya membutuhkan waktu lima hari kerja. Sedangkan dari Regulasi baru PLN, menerapkan aturan Regulasi baru PLN harus melakukan kajian kelayakan operasi. Hal ini tentu akan memakan waktu yang lebih lama. Dimana jika dilihat dari skala operasinya, pemasangan PLTS Atap di rumah-rumah warga merupakan skala yang kecil.

Hal ini tentu menjadi faktor yang sedikit banyak dapat menghambat proses perkembangan PLTS Atap di Indonesia. Dengan adanya wacana dan beberapa kejadian ini, adanya potensi kebijakan yang bertabrakan antara aturan terkait PLTS Atap dan Regulasi baru PLN dapat saja terjadi. Dimana dalam menyikapi hal ini, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) berharap bahwa Regulasi baru PLN tidak menghambat keinginan masyarakat dalam memasang PLTS atap di tengah kenaikan tarif listrik bagi kelompok pelanggan rumah tangga mampu.

Dikutip dari berbagai sumber, Ketua Umum AESI, Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pemasangan Net Metering yang dikerjakan oleh PLN juga memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu mencapai berbulan-bulan. Jika dilihat dari pengertiannya sendiri, Net Metering merupakan sistem layanan yang dapat mengatur kelebihan listrik yang dihasilkan oleh PLTS Atap dapat dikirimkan ke jaringan distribusi PLN, serta dapat digunakan kembali untuk konsumsi oleh rumah tangga tersebut. Hal ini berarti bahwa meski masyarakat memasang sistem PLTS Atap untuk kebutuhan rumah tangga nya , mereka tetap harus menggunakan jaringan listrik dari PLN.

Padahal ketika melihat prosedurnya, PLN wajib untuk menyediakan Net Metering yang sebenarnya dibayarkan oleh para pengguna PLTS Atap sebagai pelanggan. Hal ini secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa Regulasi baru PLN terlihat secara sistematis sedang membatasi penggunaan PLTS Atap. Tentu, hal tidak bisa dibenarkan, karena melalui sistem On Grid, Sistem yang dilalui seharusnya tidak begitu. Melihat aturan-aturan yang diterbitkan oleh Pemerintah saat ini, hal ini tentu merupakan upaya untuk mendorong transisi energi bersih. Dimana seluruh pihak harus berupaya dalam mendorong hal tersebut, termasuk dari pihak PLN. Sebelumnya, kebijakan pemanfaatan PLTS Atap dengan capaian maksimal 10-15 persen oleh Regulasi baru PLN ini juga dinilai bisa membuat listrik tenaga matahari menjadi tak menarik dari sisi keekonomian.

Hal ini tentu berbenturan dengan target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025. Dimana dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya sendiri merupakan upaya untuk menekan penurunan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 3,2 juta ton CO2e. Sebagai bagian dari menjaga ekosistem dari kerusakan lingkungan akibat emisi karbon. Sedangkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025, Indonesia masih perlu menambahkan 14 gigawatt Pembangkit energi bersih sebagai bentuk langkah konkret dalam menurunkan emisi karbon yang ada di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, Kenaikan kenaikan tarif listrik untuk kelompok rumah tangga mampu dengan daya 3.500-6.600 Volt Ampere (VA) ke atas juga dapat dinilai sebagai upaya serta momentum yang sangat baik untuk dapat mendorong pemasangan PLTS Atap. Tarif listrik untuk golongan rumah tangga R2 (3.500-5.500 VA) yang berjumlah 1,7 juta pelanggan, dan R3 (6.600 VA ke atas) 316 ribu pelanggan, naik dari Rp 1.444,7 per kWh menjadi Rp 1.699,53 per kWh.

Dengan begitu, ada sekira 2 juta rumah tangga yang akan mengalami kenaikan tarif listrik sejumlah Rp 255 per kWh. Dalam hal ini, Ketua Umum AESI, Fabby Tumiwa mengatakan bahwa 2 juta rumah tangga yang terdampak bisa mengurangi beban biaya imbas kenaikan tarif listrik melalui pemasangan PLTS Atap.

Berdasarkan hal inilah penggunaan PLTS Atap untuk kebutuhan listrik rumah tangga maupun kebutuhan listrik dalam usaha bisnis merupakan langkah yang sangat tepat untuk pengembangan sumber energi alternative. Hal ini tentu sangat cocok dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia. Apalagi jika melihat potensi Indonesia yang ada di Indonesia, dimana Anda dapat dengan mudah mendapatkan sumber utama dari pembangkit listrik ini, yaitu sinar matahari. Tentu manfaat lain dari pemasangan PLTS atap ini juga dapat membantu anda dalam menghemat pengeluaran untuk kebutuhan listrik Anda.

Pemasangan PLTS Atap juga akan membantu Anda untuk mendapatkan pasokan listrik dalam jumlah yang besar. Tentu tanpa membebani biaya yang harus Anda dikeluarkan setiap bulannya. Karena sumber energi ini bisa Anda dapatkan secara gratis dan sangat melimpah. Selain itu, melalui peraturan terbaru tersebut, Anda juga dapat melakukan ekspor listrik PLTS Atap yang tentu dapat menghasilkan pemasukan baru bagi Anda para pengguna PLTS Atap.

Written by Biru Cahya Imanda | 27 Feb 2024