Mengurangi Kemiskinan Melalui Listrik Ramah Lingkungan Panel Surya

Sebagai negara yang dikaruniai dengan melimpahnya sumber daya alam dan didukung dengan iklim tropis, Indonesia berpotensi mengembangkan energi surya yang sangat berlimpah ini untuk mengembangkan seluas-luasnya guna memenuhi kebutuhan pasokan listrik masa depan. Dalam hal ini, Indonesia memiliki potensi surya mencapai 4,8 kWh/m2. Tentu potensi ini merupakan asset yang sangat berharga untuk dapat menghasilkan listrik alternatif dengan kapasitas mencapai 207,8 GWp.

Dalam pemanfaatannya, Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya juga sangat membantu dalam menghemat biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan listrik. Selain itu, pemanfaatan energi surya melalui pembangkit listrik tenaga surya juga tentu sangat membantu mengurangi dampak perubahan iklim dengan menekan efek gas rumah kaca yang dapat dihasilkan oleh pembangkit listrik energi fosil. Dalam berbagai kesempatan, Pemerintah melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya mineral telah menerbitkan aturan baru bagi pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) guna mendukung capaian potensi energi baru terbaharukan dari pemerintah.

Perkembangan PLTS Atap di Indonesia sendiri memiliki potensi yang sangat besar. Hal ini terlihat dari semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan energi alternatif melalui PLTS Atap yang kemudian digabungkan dengan sumber energi listrik dari PLN. Pengembangan PLTS Atap yang semakin massif dilakukan ini tentu akan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat. Dimana diantaranya merupakan adanya penyerapan tenaga kerja PLTS atap yang sangat besar di Indonesia.

Upaya Pengentasan Kemiskinan Melalui Listrik Panel Surya

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh lembaga kajian energi asal Eropa, EMBER mengungkapkan bahwa peningkatan pencapaian pemanfaatan energi bersih melalui energi ramah lingkungan bertujuan untuk memenuhi peningkatan permintaan listrik sekaligus mencegah emisi karbon dioksida. Berdasarkan laporan tersebut, di antara 10 negara anggota Asean, lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam atau 'Asean 5' setidaknya akan berpotensi menyumbang sebesar 89% dari total pembangkitan listrik. Oleh karena itu, kontribusi kelima negara ini dinilai sangat penting untuk mewujudkan transisi energi bersih di Asean.

Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi Indonesia. Dimana Indonesia sendiri berencana menambah 4,68 GW kapasitas tenaga surya serta 0,6 GW tenaga angina pada tahun 2030. Sebagaimana tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, yang disebut-sebut sebagai RUPTL "terhijau". Analis Lembaga yang fokus pada bidang kelistrikan Asia ini menilai bahwa pemerintah Indonesia harus memaksimalkan energi matahari sebagai salah satu potensi perkembangan guna menopang kebutuhan pasokan listrik seperti yang dilakukan oleh China, India, dan sebagian besar negara-negara di dunia. Pasalnya, harga bahan bakar fosil saat ini telah melambung tinggi, sementara harga energi surya dan angin tetap rendah dan terjangkau.

Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Dimana dalam sektor ekonomi, pemanfaatan sumber energi matahari sebagai sumber utama kebutuhan listrik bagi masyarakat akan berdampak bagi sektor ekonomi yang dapat diwujudkan dalam upaya pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia. Dimana potensi yang dimiliki oleh Indonesia tentu sangat besar. Yaitu mencapai lebih dari 3.600 GW yang dapat dikembangkan melalui pembangkit listrik tenaga surya. Potensi energi surya ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yaitu Nusa Tenggara Timur 369,5 GWp, Riau dengan 290,41 GWp, dan Sumatra Selatan 285,18 GWp.

Pengembangan listrik panel surya yang semakin massif dilakukan ini tentu akan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat. Dimana diantaranya merupakan adanya penyerapan tenaga kerja PLTS atap yang sangat besar di Indonesia. Hal ini juga diungkapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif, dimana menurutnya pengembangan listrik panel surya akan mampu memberikan trend baik dalam penyerapan tenaga kerja PLTS atap di Indonesia. Dimana aka nada lebih dari 120 ribu orang memiliki pekerjaan baru serta peningkatan investasi sekitar Rp50 triliun.

Menurutnya, upaya dorongan ini juga akan menumbuh kembangkan industri pendukung PLTS domestic. Serta dapat mendorong green product sektor jasa dan green industry untuk menghindari carbon border tax di tingkat global dan mengurangi emisi karbon sebesar 4,5 juta CO2. Pemanfaatan energi surya melalui PLTS Atap juga ditargetkan dapat melahirkan inovasi pendanaan-pendanaan baru dari berbagai sektor untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja PLTS atap yang ada di Indonesia, baik dari sektor perbankan, lembaga pembiayaan, lembaga kerja sama maupun dalam bentuk hibah bantuan untuk Indonesia yang lebih baik.

Tentu pemerintah Indonesia perlu berkaca pada pemerintah Cina yang telah mengidentifikasi pengentasan kemiskinan yang ditargetkan sebagai strategi pembangunan nasional. Pendekatan ini memprioritaskan bantuan yang ditargetkan untuk orang miski dimana focus dari programnya mengarahkan sumber daya ke pengukuran dan pengentasan kemiskinan individu, rumah tangga, dan masyarakat melalui sumber energi terbaharukan yaitu energi matahari.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Lembaga lokal Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa Indonesia berpotensi dapat memulihkan kondisi ekonomi pasca Pandemi Covid-19 melalui pemasangan ribuan listrik panel surya atap. Hal ini tentu bukan sekedar omong kosong belaka, dimana dalam mengutip dari berita yang diterbitkan oleh TheJakartaPost, Skema pemulihan kondisi ekonomi melalui pemasangan listrik panel surya tersebut dapat diwujudkan melalui pemasangan listrik panel surya dengan kapasitas gabungan sebesar 1 gigawatt (GWp) per tahun untuk memenuhi kebutuhan jutaan rumah tangga miskin di Indonesia selama empat hingga lima tahun kedepan.

Lembaga tersebut juga menegaskan bahwa perkiraan skema tersebut akan menghasilkan hingga 22.000 pekerjaan dari pemasangan panel dengan menghemat miliaran dolar dari subsidi listrik pemerintah untuk kebutuhan listrik. keuntungan ini tentu menjadi hal yang sangat menarik bagi pemerintah Indonesia dari segi keuangan. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, telah bekerja untuk mengembangkan skema tersebut.

Direktur eksekutif lembaga IESR, Fabby Tumiwa mengatakan bahwa masih banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal ini. Salah satunya adalah melatih tenaga ahli yang bertugas memasang panel baru melalui program pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah. Dimana Indonesia sendiri saat ini masih kekurangan tenaga kerja untuk memasang listrik panel surya guna mewujudkan satu GWp panel setiap tahun.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga menegaskan bahwa proyek ini akan “realistis” dengan dimulainya 100-200 megawatt (MW) di Nusa Tenggara dan Bali pada tahun pertama. Hal ini melihat bahwa Provinsi-provinsi tersebut memiliki biaya penyediaan tenaga listrik (BPP) tertinggi di Indonesia. Faktor pendukung lain dimana listrik panel surya merupakan upaya nyata dalam membantu pengentasan kemiskinan adalah Analis energi secara global yang menyerukan kepada pemerintah untuk berinvestasi dalam teknologi hijau karena negara-negara mulai mengucurkan miliaran dolar dalam skema pemulihan ekonomi pasca-COVID-19. 

Para analis berpendapat bahwa investasi semacam itu dapat merangsang pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja tanpa harus mengorbankan komitmen terhadap upaya cinta lingkungan. “Periode pasca pandemic krisis COVID-19 dapat menentukan apakah dunia memenuhi atau melewatkan target emisi Perjanjian Paris 2015,” kata konsultan McKinsey & Company dalam sebuah artikel pada 27 Mei. Indonesia, salah satu penandatangan Perjanjian Paris, telah berjanji untuk menjadikan tenaga surya menyumbang 5,7 persen dari listrik negara pada tahun 2025, namun tenaga surya hanya menyumbang 0,1 persen tahun lalu. Pemerintah Indonesia telah menganggarkan sebesar Rp 695,2 triliun untuk dana pemulihan ekonomi, antara lain untuk sistem kesehatan, jaring pengaman sosial, insentif untuk usaha kecil dan penciptaan lapangan kerja, tetapi tidak disebutkan secara spesifik tentang energi terbarukan.

Written by Amadea Hasmirna | 21 Mar 2024