Kerja sama BEI dengan OJK dalam maksimalkan Regulasi Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan. Kredit karbon merupakan representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Dalam mengatur Perdagangan kabon ini, Pemerintah Indonesia sedang merencanakan untuk memperkenalkan perdagangan karbon di Bursa Efek Indonesia (BEI). Untuk mewujudkan hal tersebut, Bursa Efek Indonesia bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menyiapkan infrastruktur dan kerangka aturan yang dibutuhkan. Perdagangan karbon merupakan perdagangan emisi yang menargetkan khususnya emisi karbon dioksida dalam satuan ton dan merupakan perdagangan emisi terbesar di dunia.

Program ini bekerja dengan menetapkan batas kuantitatif yang dihasilkan oleh penghasil emisi. Negara yang memproduksi emisi karbon lebih banyak dapat mengeluarkan emisi tersebut dari negaranya, sementara negara yang memiliki emisi lebih sedikit bisa menjual hak menghasilkan emisi sesuai batasnya ke negara atau wilayah lainnya. Dalam hal ini, Otoritas Jasa keuangan (OJK) sedang mempersiapkan infrastruktur regulasi untuk bursa perdagangan karbon, yang mana meskipun Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang mengatur tentang pasar karbon tidak menjelaskan siapa yang akan menyelenggarakan perdagangan di pasar sekundernya. Meski begitu, arah kebijakan pemerintah adalah menyerahkan bursa perdagangan karbon kepada BEI.

Komitmen Indonesia Mengatasi Masalah Karbon

Dengan adanya bursa perdagangan karbon, BEI tentu akan berkontribusi terhadap pencapaian Indonesia dalam mewujudkan Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam hal ini, Nationally Determined Contribution merupakan bagian dari kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional sebagai dokumen yang berisi komitmen bagi sebuah negara dalam aksi iklim. Melalui komitmen ini, Indonesia tentu ingin menyampaikan kepada dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai bagian Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Perdagangan karbon merupakan bagian dari mekanisme untuk mencapai NDC Indonesia. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta BEI untuk mempersiapkan skema bursa perdagangan karbon di dalam negeri. Pengembangannya dilakukan bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pemerintah telah menetapkan strategi mitigasi iklim melalui NDC yang diperbaharui pada September 2021. Dimana target untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% melalui upaya sendiri pada 2030 dan 42% dengan bantuan internasional. Dokumen NDC terbaru ini akan digunakan untuk mendukung target pemerintah dalam pembangunan rendah karbon dan mewujudkan netral karbon pada 2060. Badan Energi Internasional (IEA) menargetkan emisi karbon dioksida (CO2) hilang sepenuhnya pada 2050. Karena itu, total emisi ini akan terus ditekan dari 33,9 gigaton (Gt) pada 2020 hingga tiga puluh tahun mendatang. Perdagangan karbon di pasar sekunder menjadi salah satu upaya untuk mengurangi emisi karbon dan mendorong perusahaan untuk berinvestasi dalam teknologi yang ramah lingkungan.

Melalui bursa perdagangan karbon, perusahaan yang menghasilkan emisi dapat membeli kredit karbon dari perusahaan lain yang telah berhasil menurunkan emisinya di bawah batas yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, perdagangan karbon juga dapat menjadi sumber pendapatan bagi perusahaan yang berhasil menurunkan emisi di bawah batas yang ditetapkan. Perusahaan dapat menjual kredit karbon mereka ke perusahaan lain yang belum dapat menurunkan emisinya di bawah batas yang ditetapkan. Hal ini dapat mendorong perusahaan untuk berinvestasi dalam teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Potensi Indonesia dalam Perdagangan Karbon

Indonesia memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon karena sebagai negara dengan luas hutan tropis yang besar, Indonesia dapat memanfaatkan program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) untuk mengurangi emisi karbon. Program ini bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang melalui pengembangan proyek-proyek yang berkelanjutan dan dapat dijual ke negara-negara maju yang membutuhkan kredit karbon untuk mencapai target emisi mereka. Namun, ada beberapa kendala yang perlu diatasi dalam pelaksanaan bursa perdagangan karbon di Indonesia. Salah satu kendala utama adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang perdagangan karbon di kalangan perusahaan dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif mengenai perdagangan karbon agar dapat membangun kesadaran dan minat dalam pelaksanaannya.

Selain itu, perlu adanya kerja sama yang erat antara berbagai instansi pemerintah dan swasta dalam mengembangkan perdagangan karbon di Indonesia. Kerja sama ini meliputi pengembangan infrastruktur, regulasi yang jelas, dan pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya kecurangan dan manipulasi dalam perdagangan karbon. Dalam jangka pendek, perdagangan karbon di pasar sekunder di Indonesia masih dalam tahap persiapan. Namun, dengan adanya upaya yang intensif dan kerja sama yang erat antara pemerintah dan swasta, Indonesia dapat menjadi salah satu pemain utama dalam perdagangan karbon di Asia dan dunia.

Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal OJK, Luthfi Zain Fuady, menyatakan bahwa OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mempersiapkan atau mengkaji dua hal dalam perdagangan karbon. Pertama, infrastruktur regulasi, dan kedua, infrastruktur bursa perdagangan karbon melalui Bursa Karbon. Persiapan atau kajian ini dilakukan seiring dengan proses penyusunan regulasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. Beberapa hal yang berkaitan dengan bursa karbon salah satunya adalah jenis instrumen Nilai Ekonomi Karbon yang nantinya dapat diperdagangkan di Bursa Karbon itu sendiri. Selain itu, pembahasan mekanisme pencatatan di bursa karbon, bentuk hukum platform perdagangan karbon serta siapa saja pihak yang nantinya dapat menjadi penjual-pembeli atau perantara perdagangan karbon melalui bursa perdagangan karbon, termasuk persyaratan bagi pihak-pihak tersebut.

Menurut Direktur Utama BEI, Iman Rachman, karbon tidak hanya terkait dengan bursa efek, sehingga perlu ada definisi karbon sebagai instrumen keuangan. Hal ini penting untuk dipahami karena selama ini jika berbicara soal bursa, yang terkait adalah surat berharga. Untuk itu, BEI menunjuk konsultan untuk mengkaji bagaimana benchmarking di negara-negara lain, termasuk melihat sisi supply dan demand yang terjadi di carbong trading.
Iman juga menyatakan bahwa pihaknya siap melaksanakan perdagangan karbon, baik itu menggunakan sistem yang ada melalui penjaminan KPEI-KSEI, maupun dilakukan langsung di bursa atau terpisah di bursa efek. Semua kajian itu dilakukan bersama-sama dengan OJK. penguatan regulasi juga dilakukan di level undang-undang, yaitu dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia serius dalam mendorong pengembangan perdagangan karbon sebagai instrumen keuangan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan.

Dalam kajian ini, pihak OJK dan BEI juga harus mempertimbangkan beberapa hal penting, seperti bagaimana mengatur penjualan dan pembelian karbon serta penyelesaian transaksi. Selain itu, infrastruktur teknologi dan peraturan perdagangan karbon juga harus dibangun dan ditingkatkan agar bursa perdagangan karbon dapat berjalan dengan lancar dan aman. Diharapkan dengan adanya persiapan yang matang dan infrastruktur yang memadai, bursa perdagangan karbon di Indonesia dapat berkembang dan memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian dan lingkungan. Selain itu, juga dapat membantu Indonesia dalam memenuhi target pengurangan emisi karbon yang telah ditetapkan secara internasional.

Written by Amadea Hasmirna | 28 Mar 2024