Kenapa Batu Bara Berdampak Buruk terhadap Kehidupan?

Hingga saat ini, batu bara menjadi banyak pilihan di sektor industri dan pembangkit listrik sebagai penghasil energi dan bahan bakar mengingat biayanya yang murah dan mudah didapat. Namun, jika dilihat dari sisi lain, dampak batu bara sebenarnya tidak kalah mengerikan bagi masyarakat maupun lingkungan. Berikut beberapa di antaranya yang perlu Anda ketahui.

1. Mengakibatkan penyakit pada manusia

Dampak batu bara sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Terlebih lagi bila masyarakat tinggal di sekitar area tambang batu bara maupun di dekat pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara tersebut. Greenpeace International menyebutkan tidak kurang dari 60.000 orang di Indonesia mengalami kematian dini akibat pencemaran batu bara. Banyak dari mereka mengalami kanker paru, stroke, hingga gangguan pernapasan yang menyebabkan kematian.

Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Universitas Harvard juga memperkirakan bahwa pembakaran dari batu bara akan menyebabkan kematian dini masyarakat Indonesia. Melansir dari Koran Jakarta, jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, yakni sekitar 24.000 orang per tahunnya. Selain orang dewasa, anak-anak pun juga rentan terkena dampak penyakit ini.  Bahkan anak-anak dinilai lebih rentan terkena penyakit yang sudah disebutkan di atas. Apabila tidak segera mendapatkan penanganan terbaik, maka kematian pun akan menghantui mereka.

2. Pencemaran udara

Dari segi lingkungan, dampak batu bara juga mengarah pada adanya pencemaran udara. Untuk dampak satu ini memang sudah umum terjadi di negara-negara yang masih menggunakan energi batu bara sebagai pembangkit listrik. Batu bara dapat mengeluarkan partikel PM 2,5, yakni partikel yang sangat kecil dan tak kasat mata. Ukurannya saja hanya 2,5 mikrometer dan hanya 3% dari diameter rambut manusia.

Bahayanya lagi, partikel ini mampu menembus masker yang digunakan seseorang karena ringan dan berbentuk gas. Partikel PM 2,5 biasanya berasal dari pembakaran dan asap perapian yang secara massif bisa ditemukan dari cerobong asap industri maupun pembangkit listrik berenergi fosil. Partikel ini juga dengan mudah masuk dan menempel pada gelembung paru. Data dari jurnal Environmental Research yang dilansir oleh Tirto.id menyebutkan bahwa partikel tersebut diprediksi menyebabkan 91.600 kematian dini di Indonesia. Hal ini juga sangat berbahaya mengingat anak-anak dan balita lebih berpotensi terkena dampaknya bila dibandingkan orang dewasa. 

3. Pencemaran air

Selain pencemaran udara, dampak batu bara lainnya bagi lingkungan adalah tercemarnya perairan. Limbah batu bara yang tertahan dan tidak dibuang ke udara akan berdampak pada kondisi perairan, khususnya di area sungai, baik pada area hulu maupun hilir. Air sungai yang sudah terkontaminasi limbah dari batu bara sangatlah berbahaya jika digunakan manusia. Terlebih bila digunakan untuk kegiatan rumah tangga seperti mencuci dan masak. Air sungai tersebut dapat melepaskan logam berat yang bisa menimbulkan berbagai dampak penyakit pada manusia maupun hewan-hewan di sekitar area sungai.

Ditambah lagi, saat musim penghujan, sungai akan mengalami peningkatan volume air. Air hujan yang terkontaminasi partikel berbahaya dari udara yang tercemar batu bara juga semakin menambah buruk keadaan dan kondisi sungai. Di Indonesia, kasus pencemaran sungai akibat tambang batu bara dapat dicontohkan dari adanya pencemaran DAS Air Bengkulu. Sebelumnya, seperti dilansir dari Mongabay, disebutkan bahwa sebelum adanya tambang, aliran sungai cukup jernih dan kerap digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan.

Akan tetapi, sejak pertama kali adanya pertambangan batu bara di kawasan sekitar DAS Air Bengkulu, kondisi sungai perlahan berubah. Dari awalnya yang jernih, kondisi airnya perlahan menjadi keruh dan hitam akibat endapan batu bara di dasar sungai. Selain itu, sungai juga mengalami pendangkalan. Dampak lainnya ialah makin berkurangnya DAS Air Bengkulu. Sebagai persyaratan ideal, DAS berhutan minimal 30%, sedangkan yang ada di Bengkulu hanya 10% akibat alih fungsi lahan ke tambang batu bara.

4. Pencemaran tanah

Kondisi tanah juga mengalami dampak buruk dari adanya pertambangan dan penggunaan energi batu bara. Pencemaran adanya kandungan berbahaya dari batu bara terhadap kondisi tanah, baik langsung maupun tidak langsung, akan berdampak pada kondisi pertanian. Misalnya saja lahan gambut yang pada dasarnya menjadi penjernih air dapat rusak. Akibatnya, air yang digunakan untuk mengairi tanaman di lahan pertanian pun memiliki kualitas buruk.
Kondisi tanah yang semakin memburuk akibat dampak batu bara juga menjadi salah satu penyebab buruknya kualitas komoditas hasil pertanian. Hal ini dikarenakan tingkat keasaman tanah yang tinggi. Pencemaran tanah tersebut jika dilihat lebih jauh lagi bisa memberikan dampak yang sistemik dan berkelanjutan. Selain membuat ekosistem menjadi terancam, juga diprediksi akan membuat pasokan pangan di suatu wilayah semakin menurun akibat tanah yang kurang subur dan kualitas hasil pertanian yang buruk.

5. Rusaknya ekosistem

Menyambung dari poin sebelumnya, dampak batu bara juga semakin memperparah rusaknya ekosistem, baik itu ekosistem di darat maupun ekosistem perairan. Kualitas tanaman pertanian adalah salah satu dampak masif dari rusaknya ekosistem akibat tercemar oleh batu bara. Begitu juga dengan keberadaan hewan-hewan yang ada. Sungai yang tercemar oleh limbah batu bara membuat jumlah ikan semakin menurun karena mati. Akibatnya, terjadi ketimpangan ekosistem.

Bahkan di sisi lain dalam tingkat lanjut, limbah dan pencemaran batu bara dapat mengubah bentuk ikan dan katak di sungai. Selain itu, keberadaan mikroba sebagai pembentuk unsur hara tanah yang berguna untuk penyuburan pun semakin berkurang karena limbah dan kandungan berbahaya dari batu bara.

6. Dampak ekonomi dan sosial

Dampak batu bara yang tidak kalah buruknya adalah dampak terhadap ekonomi dan sosial masyarakat. Adanya alih fungsi lahan pertanian ke sektor pertambangan batu bara memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat. Khususnya bagi para petani, mereka akan kehilangan sumber penghasilan. Sementara dari sektor pertanian makro, alih fungsi lahan akan menyebabkan penurunan produksi beras nasional.

Kajian dari Hungry Coal yang dilakukan Waterkeeper Alliance bersama Jaringan Advokasi Tambang menyebutkan jika produksi beras nasional yang berkurang akibat alih fungsi lahan sudah mencapai 7,7 juta ton. Selain itu, adanya pertambangan batu bara juga akan menimbulkan adanya gesekan di masyarakat. Kita dapat ambil contoh untuk kasus ini adalah pembangunan eksplorasi tambang di India untuk PLTU. Keberadaan tambang tersebut pada akhirnya akan memaksa masyarakat di sekitar lokasi untuk pindah.

Kepindahan masyarakat tersebut bukan saja terjadi karena perluasan lahan. Namun, mereka juga memiliki alasan lain seperti adanya ancaman penyakit yang disebabkan oleh polusi batu bara. Kemudian, rusaknya ekosistem pun membuat masyarakat sekitar lokasi tidak punya pilihan lain dan memaksa mereka untuk pindah karena tidak memiliki lahan kerja khususnya di sektor perikanan dan pertanian kecil.

Hal tersebut bisa dicontohkan seperti apa yang terjadi dan dialami warga di desa Taman Dewa, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Seperti dilansir dari Mongabay, keberadaan perusahaan tambang batu bara di kawasan tersebut menyebabkan sumur warga menjadi tercemar dan ikan di sungai pun banyak yang mati. Begitu pula dengan kehidupan suku Anak Dalam yang semakin terpinggirkan karena adanya alih fungsi lahan. Pelebaran lokasi tambang dari yang awalnya berjarak sekitar 500 meter dari pemukiman warga pun semakin mendekati rumah-rumah penduduk, sehingga membuat warga menjadi was-was dan mereka pun memutuskan untuk pindah tempat tinggal.

Dari ulasan di atas, kita dapat simpulkan bahwa dampak batu bara sangatlah besar bagi masyarakat dan lingkungan. Selain regulasi yang ketat dari pemerintah, perlu adanya edukasi secara berkala kepada masyarakat untuk menggunakan energi terbarukan. Misalnya saja penggunaan panel surya untuk kebutuhan energi listrik rumah tangga guna mengurangi penggunaan konsumsi batu bara.

Written by Irfantoni Listiyawan | 01 Jul 2019