Bahaya Kabut Asap di Kalimantan, Apa Penyebabnya?

Karhutla atau kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu isu yang ramai dibicarakan di berbagai media mainstream beberapa waktu belakangan ini. Karhutla yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera ini menyebabkan kualitas udara di wilayah-wilayah tersebut menjadi tidak sehat bahkan tergolong berbahaya. Kualitas udara yang buruk ini merupakan dampak dari kabut asap yang timbul akibat kebakaran hutan dan lahan di daerah tersebut.

Terlepas dari kualitas udara Jakarta yang semakin juga semakin buruk, kondisi udara di beberapa kota di Kalimantan dan Sumatera, juga berada dalam kondisi yang lebih parah. Berdasarkan dari AirVisual, pada tanggal 23 September lalu, kota Pekanbaru menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di Indonesia dengan indeks kualitas udara (AQI) 744 yang masuk dalam kategori berbahaya. Udara Pekanbaru sendiri mengandung polutan PM 2,5 sebesar 870 µg/m³. Sementara Jakarta masih berada pada level udara yang tidak sehat dengan AQI 174. Dimana kepadatan polutan PM 2,5 sebesar 99,8 µg/m³.

Dari data di atas, karhutla dan kabut asap dapat mengganggu kehidupan masyarakat di provinsi Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Aceh, Bangka Belitung, Kalimantan Utara dan Maluku Utara. Bahkan, dampak kabut asap yang muncul dari karhutla ini juga telah sampai ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam bahkan telah sampai ke Thailand. Kabut asap ini bahkan menyebabkan terganggunya jadwal penerbangan dari dan menuju wilayah yang terkena dampak tersebut.

1. Penyebab dan dampak kabut asap di Kalimantan

Masyarakat diimbau untuk tidak beraktivitas di luar rumah. Akibatnya, tidak sedikit yang tidak dapat melakukan rutinitas kerja dan sekolahnya karena kondisi ini. Selain itu, tak sedikit juga masyarakat yang harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan karena gangguan pernapasan yang dirasakan. Bahkan, kondisi udara yang telah mencapai level berbahaya ini pun telah merenggut nyawa bayi di Pekanbaru, Riau dan Palembang, Sumatera Selatan. Melihat begitu besar dampak kerusakan yang disebabkan oleh karhutla, sebenarnya apa yang menyebabkannya tak kunjung berhenti sampai sekarang

Manusia menjadi penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang begitu luas. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun menjelaskan bahwa hampir 99% dari karhutla yang terjadi di Indonesia bermula dari penyulutan api baik sengaja maupun tidak disengaja. Kesengajaan ini pun menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat, khususnya Provinsi Riau, yang kemudian ramai-ramai membuat tagar #RiauDiBakarBukanTerbakar di Twitter dan menjadi top 5 trending topic pada 13 September 2019.

Sementara, kesengajaan ini berakar pada perusahaan yang pemegang konsesi perkebunan kayu yang abai dan tidak konsisten dalam melakukan tata kelola gambut. Inkonsistensi ini juga didukung oleh sikap pemerintah yang tidak tegas dalam menindak perusahaan-perusahaan tersebut. Inkonsistensi pemerintah ini terlihat dari penerbitan regulasi P.10/2019 oleh KLHK mengenai penentuan, penetapan dan pengelolaan puncak kubah gambut berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Dimana regulasi ini memberi ruang bagi perusahaan untuk mengelola lahan yang masuk dalam zona lindung ekosistem gambut.

Di samping itu, pemerintah juga tidak terbuka mengenai data dan informasi terkait pengelolaan lahan gambut ini, termasuk di antaranya terkait dengan lokasi restorasinya yang sampai dengan saat ini tidak dibeberkan oleh KLHK. Sementara, hal itu merupakan kewajiban dari para pemegang konsesi perkebunan kayu di lahan gambut. Selain itu, pemerintah juga tidak transparan mengenai upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan oleh perusahaan untuk membenahi diri pasca mendapatkan sanksi administrasi karena areanya terbakar.

Menurut peneliti dari Yayasan Auriga, Syahrul Fitra, sikap pemerintah yang terkesan pro terhadap perusahaan pemegang konsesi perkebunan kayu ini disebabkan oleh permintaan pasar yang cukup tinggi terhadap penggunaan lahan gambut. Dimana mereka adalah perusahaan yang bergelut di industri pembuatan kertas yang membutuhkan tanaman Acacia crassicarpa sebagai bahan baku produksi. Tanaman ini merupakan tanaman yang bisa dan paling cepat tumbuh di lahan gambut. Di Riau sendiri tanaman tersebut menjadi andalan dalam pembuatan kertas dan 60% hutan untuk tanaman industri ditanami jenis pohon ini. Setidaknya di provinsi Riau sendiri terdapat lahan seluas 600 ribu hektar untuk penanaman pohon ini. Karenanya, tanaman ini tersebar di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Riau yang merupakan provinsi-provinsi yang mengalami karhutla terluas tahun ini. Oleh karena itulah pemerintah melarang penanamannya dan akan menggantikannya dengan tiga jenis pohon baru dalam pembuatan kertas yakni Geronggang, Meranti Kuning, dan Balerangan.

2. Konsesi perusahaan besar patut jadi sorotan

Melihat data di atas, semestinya tidak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk mempertahankan konsesi perusahaan-perusahaan tersebut dan mendukung mereka. Terlebih, tidak sedikit diantara perusahaan-perusahaan ini telah terbukti melakukan pembakaran lahan pada tahun 2015 yang kemudian melakukan hal yang sama di tahun 2019 ini. Perusahaan-perusahaan tersebut pun telah disegel oleh KLHK.

Dari 43 titik lokasi penyegelan, 42 di antaranya adalah milik perusahaan yang sebagian merupakan perusahaan dengan modal asing. Satu perusahaan asal Singapura dengan nama PT HKI dan tiga perusahaan dari Malaysia yaitu PT SKS, PT SI di Sanggau dan PT RA di Melawi. Serta, empat perusahaan lainnya yang dijadikan tersangka, yaitu PT ABP, PT AER, PT SKM yang berada di Kalimantan Barat dan PT KS di Kalimantan Tengah.

Tidak hanya penyegelan, sejak tahun 2015 KLHK juga memberikan sanksi pengawasan perusahaan sebanyak 168, 65 sanksi administrasi, 325 surat peringatan, 17 gugatan perdata dan empat pidana bagi korporasi. Sembilan dari gugatan perdata tersebut telah berketetapan hukum atau inkracht dengan nilai Rp.3,15 T yang sedang dalam proses eksekusi. Namun, sejauh ini denda baru dibayarkan oleh PT. Bumi Mekar Hijau sebesar Rp.78 M.

Besarnya jumlah penindakan yang dilakukan oleh KLHK ternyata tidak memberikan efek jera bagi perusahaan pemilik konsesi. Sebab dari jumlah denda yang harus dibayarkan oleh perusahaan sampai dengan saat ini baru seperempatnya yang dikerjakan. Syahrul, peneliti dari Yayasan Auriga menilai penegakan hukum melalui gugatan perdata bukan tindakan yang tepat untuk dilakukan oleh pemerintah. Menurutnya, tindakan ini tidak efektif karena tidak dieksekusi dengan baik. Ini terasa hanya seperti hukuman semu. Syahrul pun menyarankan untuk melakukan pencabutan izin konsesi lahan bagi perusahaan.

Sementara itu, tindakan yang diambil oleh pemerintah pusat atas kasus karhutla ini dinilai masih lemah. Pemerintah daerah yang menjadi lokasi kejadian kebakaran pun angkat tangan. Mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di daerahnya. Laporan yang diterima oleh Ketua BNPB, Doni Monardo menyebutkan bahwa pejabat daerah abai akan hal ini.

Ia pun melihat ketidakpedulian ini dari absennya para pejabat terkait pada rapat penanganan bencana. Padahal, pejabat daerah yang berada di lapangan adalah ujung tombak dari proses penanggulangan karhutla di 10 provinsi terdampak kabut asap. Doni pun meminta semua jajaran pemerintahan, mulai dari gubernur, bupati/wali kota, camat sampai dengan tingkat kepala kelurahan untuk lebih peduli dan berperan aktif dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan.

3. Penanganan dan pencegahan karhutla oleh pemerintah

Selain itu, yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah adalah cara mengatasi karhutla. Selama ini, yang dilakukan pemerintah hanyalah tindakan reaktif dengan mengerahkan armada untuk memadamkan hutan dan lahan yang sudah terbakar. Sedangkan, karhutla yang selama ini terjadi merupakan tindakan yang sistematis dan masif dengan modus pembersihan lahan (land cleansing) untuk mengubah hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan.

Pemerintah sebaiknya memprioritaskan tindak pencegahan dan berfokus pada akar masalah di perusahaan yang memiliki hak konsesi lahan. Pemerintah seharusnya bertindak tegas dengan memberikan sanksi pada target yang tepat, yaitu perusahaan induk, bukan haya anak-anak perusahaan yang selama ini terjerat.

Selain itu, pemerintah pun harus mengawasi sumber dana dari perusahaan tersebut. Kemudian, pemerintah memasukkan perusahaan-perusahaan pemilik konsesi yang areanya terbakar ke dalam daftar hitam. Sehingga mereka akan mendapatkan pengawasan lebih dari lembaga-lembaga pendana dan dana yang masuk ke perusahaan pun akan berkurang.

Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah, mengingat jika tidak dilakukan maka tindak perusakan hutan dan lahan untuk dijadikan perkebunan akan terus terjadi dan beroperasi dengan buruk di masa yang akan datang. Dampak kerugian yang dialami oleh pemerintah dan masyarakat pun akan semakin besar dan berbahaya, baik secara ekonomi, lingkungan maupun kesehatan.

Written by Zakia Liland Fajriani | 11 Oct 2019